Dikatakan universum, dalam artian bahwa kekuasaan
tidak lepas atau tidak bisa dipisahkan campur tangan dimensi alam semesta atau
kosmologi. Sehingga menjadikan bahwa kekuasaan itu hadir sebagai sesuatu yang
sakral.
Sebagaimana
ditemui dalam budaya masyarakat Jawa, kekuasaan itu tidak sekedar sebagai
sebuah legitimasi politis, di dalamnya juga melekat sesuatu yang agung, mulia,
keramat, sakral, yang berasal dari “dunia Atas”.
Kekuasaan dalam
ajaran budaya Jawa mengandung dimensi metafisis yang terpancar dari energi kekuatan-kekuatan
alam atau kosmos. Begitu halnya kekuasaan yang ada dalam diri seorang pemimpin
tak lepas dari semua itu.
Secara konseptual, kekuasaan yang
tertera dalam ajaran budaya Jawa berbeda dengan yang dipaparkan teori-teori
Barat atau teori kekuasaan yang diperkenalkan Machiavelli.
Kekuasaan dalam
budaya Jawa adalah manifestasi universum.
Ia akan bersemayam pada orang-orang
terpilih yang mendapat “wahyu” dan memiliki daya “linuwih”, maka terjunjung
derajatnya untuk menyandang posisi pemimpin.
Di mana
manifestasi “junjung derajat” itu sendiri merupakan perwujudan diangkatnya
derajat seseorang di hadapan Sang Maha Kuasa, sekaligus terjunjungnya status
sosialnya sebagai seorang pemimpin bertugas mengembang titah amanah yang
diberikan kepadanya.
Termasuk adanya
kepercayaan bilamana penerima “wahyu” ini dalam kepemimpinannya menyalahgunakan
kekuasaannya, bertindak sewenang-wenang, berperilaku tidak adil, mandat itu
akan ditarik kembali. Wahyu yang diterimanya akan hengkang me-ninggalkan dirinya, sebagaimana ditemui dalam kisah
dunia pe-wayangan “Petruk Dadi Ratu”.
Itulah hukum
alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar