Cari Blog Ini
Selasa, 06 April 2021
Ngaji Deling - Ratu Adil : Siapa Sejatinya Ratu Adil
Ngaji Deling - Ratu Adil : Kekuasaan Itu Universum
Dikatakan universum, dalam artian bahwa kekuasaan
tidak lepas atau tidak bisa dipisahkan campur tangan dimensi alam semesta atau
kosmologi. Sehingga menjadikan bahwa kekuasaan itu hadir sebagai sesuatu yang
sakral.
Sebagaimana
ditemui dalam budaya masyarakat Jawa, kekuasaan itu tidak sekedar sebagai
sebuah legitimasi politis, di dalamnya juga melekat sesuatu yang agung, mulia,
keramat, sakral, yang berasal dari “dunia Atas”.
Kekuasaan dalam
ajaran budaya Jawa mengandung dimensi metafisis yang terpancar dari energi kekuatan-kekuatan
alam atau kosmos. Begitu halnya kekuasaan yang ada dalam diri seorang pemimpin
tak lepas dari semua itu.
Secara konseptual, kekuasaan yang
tertera dalam ajaran budaya Jawa berbeda dengan yang dipaparkan teori-teori
Barat atau teori kekuasaan yang diperkenalkan Machiavelli.
Kekuasaan dalam
budaya Jawa adalah manifestasi universum.
Ia akan bersemayam pada orang-orang
terpilih yang mendapat “wahyu” dan memiliki daya “linuwih”, maka terjunjung
derajatnya untuk menyandang posisi pemimpin.
Di mana
manifestasi “junjung derajat” itu sendiri merupakan perwujudan diangkatnya
derajat seseorang di hadapan Sang Maha Kuasa, sekaligus terjunjungnya status
sosialnya sebagai seorang pemimpin bertugas mengembang titah amanah yang
diberikan kepadanya.
Termasuk adanya
kepercayaan bilamana penerima “wahyu” ini dalam kepemimpinannya menyalahgunakan
kekuasaannya, bertindak sewenang-wenang, berperilaku tidak adil, mandat itu
akan ditarik kembali. Wahyu yang diterimanya akan hengkang me-ninggalkan dirinya, sebagaimana ditemui dalam kisah
dunia pe-wayangan “Petruk Dadi Ratu”.
Itulah hukum
alam.
Ngaji Deling - Ratu Adil
Benarkah bayang-bayang “Ratu Adil”
sebagaimana digambar-kan di teks ramalan Jangka
Jayabaya, Serat Kalatida Ranggawarsita, Uga Wangsit Siliwangi dan Serat Darmogandul Sabdo Palon, tak
lebih hanyalah sebuah mitos, khayalan, fiksi, fiktif, atau pada akhirnya
merupakan fakta?
Walau semua itu usianya sudah
ratusan tahun lalu, tapi apa yang tertulis di teks ramalan tersebut hingga kini
tak lekang oleh zaman, tetap hidup, tetap menjadi perbincangan tak ada
habisnya, yang selalu menyeruak di mana “pada suatu masa” ditenggarai meng-alami
gonjang-ganjing yang disebut sebagai zaman edan.
Adalah sebuah keniscayaan,
manakala “pada suatu masa” yang ditenggarai mengalami krisis amenangi zaman edan, bila kemudian
rakyat merindukan amenangi zaman Ratu
Adil, datangnya pemimpin adil yang diharapkan membawa perubahan kehidupan
lebih baik, keluar dari kemelut yang ada.
Kekuasaan itu universum, dalam artian bahwa kekuasaan
tidak lepas campur tangan dimensi alam semesta atau kosmologi. Ia hadir tidak
sekedar sebagai sebuah legitimasi politis, di dalamnya juga melekat sesuatu
yang agung, mulia, keramat, sakral, yang berasal dari “dunia Atas”. Ia akan
bersemayam pada orang-orang terpilih yang mendapat “wahyu junjung derajat” untuk menyandang posisi sebagai pemimpin.
Tetapi manakala ia mengangkangi titah amanah yang diberikan, maka mandat yang
diterimanya bisa ditarik kembali, “wahyu” yang diterimanya sirna ilang kertaning bumi, menghilang dari pangkuannya,
sebagaimana ditemui di kisah dunia pewayangan “Petruk Dadi Ratu”. Itulah hukum alam.
Benarkah Ratu Adil segera datang
menampakkan diri? Atau ia sedang dipingit? Siapa sejatinya Ratu Adil? Jawaban
atas pertanyaan ini memang selalu ditunggu di setiap perbincangan amenangi zaman edan, siapa sejatinya
Ratu Adil yang ditunggu kedatangannya?
Lewat buku “Ngaji Deling – Ratu Adil”, pembaca akan diajak membaca bahasa
tanda dan makna simbolik ragam bambu unik dari tersurat sampai tersirat yang
tersembunyi di dalamnya, siapa sejatinya Ratu Adil.
Lewat kitab tanpo waton ora tinulis ning iso diwoco, pembaca akan diajak
membaca simbolisasi ayat-ayat pusaka alam bambu unik, serta makna simboliknya.
Disebut sebagai pusaka alam, ia mawujud
bukan hasil rekayasa kerajinan tangan manusia. Ia mawujud langsung dari alam yang memanifestasikan diri dalam
simbol-simbol khusus yang membawa pesan-pesan alam yang tersembunyi di dalamnya
untuk dibaca manusia.
Di sini kita juga diajak: ngaji rasa, ngaji diri. Sekaligus juga
diajak “Ngaji Deling” untuk senantiasa kandhel
eling marang sing peparing; ngaji sangkan paraning dumadi, yang akan
membawa pada “Kesadaran Ilahiyah”,
dengan kata lain membawa kita memasuki dimensi “Transendensi”. Pada dimensi “Transendensi”
inilah yang dalam alam sufisme Ibn ‘Arabi, manusia bukan saja diajak “dialogis”
dengan dimensi kosmologis, juga mengalami perjumpaan dengan dimensi teofani, yang disebutnya sebagai “imajinasi kreatif”.
Oleh filsuf eksistensialis Karl
Jaspers, “Transendensi” adalah nama
untuk keilahian yang tersembunyi diwujudkan dalam chiffer-chiffer yang berarti “tanda rahasia” berupa simbol-simbol
yang masih diselimuti misteri. Ia tersembunyi, sehingga banyak jawaban yang
harus dicari sendiri.
Manusia tidak akan mampu
menjangkau membuka tabir rahasia misteri alam semesta, selain mentafakuri.
Lewat tanda-tanda kebesaran alam, walau hanya dari sepotong bambu unik,
setidaknya semakin menebalkan keimanan dan ketakjuban atas kebesaran Tuhan
Semesta Alam. Tak ada yang tak ada atas kehendak kuasa-Nya.
Sebagaimana disebutkan kekuasaan
itu universum, ia hadir tidak sekedar
sebagai legitimasi politis, juga melekat sesuatu yang agung, mulia, keramat,
sakral, yang berasal dari “dunia Atas”.
Semoga buku ini memberi pencerahan bagi calon atau para pemimpin, sebagai bekal ngaji rasa, ngaji diri, untuk disebut sejatinya pemimpin “Ratu Adil”. Siapa pun itu pemimpinnya.
Jumat, 05 Januari 2018
Ngaji Deling... Ngaji Roso... Ngaji Diri...!!!
“Saat mbolang kita harus mawas diri. Harus selalu ingat dan waspada. Selalu dzikir khoffi, ingat padaNya,” kata pengaji pring-deling ustad Agus Syarif Hidayat (ASH), yang juga anggota Komunitas Pecinta Bambu Unik Nusantara (KPBUN).